Minggu, 17 Februari 2013

Prasasti Modern: Sebuah Otokritik

oleh Ardi Wahyudi pada 17 Februari 2013 pukul 13:28 ·
Hieroglif, data sejarah bangsa Mesir kuno - Wikipedia



Menurut Kuntowijoyo, sejarah adalah rekonstruksi masa lalu[1]. Rekonstruksi tidak serta merta lahir dari rapalan mantra dukun dan tetiba tersaji di depan mata akan tetapi ia berhasil menjadi rekonstruksi utuh dengan mengumpulkan data sejarah bahkan mungkin pelaku atau saksi sejarah. Seperti yang sudah kita pelajari saat sejak di tingkat sekolah menengah, bahwa beberapa rekonstruksi sejarah Indonesia terinterpretasikan melalui adanya prasasti. Prasasti ini lalu dikembangkan lagi dengan fakta sejarah lain yang ada sehingga mengerucut pada satu kesimpulan tentang peristiwa sejarah.

Berbicara mengenai prasasti, di Indonesia sendiri ada banyak prasasti yang menjadi data sejarah. Misalnya yang terdekat dengan domisili penulis adalah prasasti Batu Tulis di Bogor yang menjadi data sejarah Kerajaan Pajajaran di masa lampau. Prasasti itu hanya berupa beberapa bait tulisan berbahasa Sanskerta. Namun dari beberapa bait itu menjadi data sejarah penting tentang bagaimana eksistensi kerajaan Pajajaran di masa lampau.

Di masa kini, peradaban kita sudah semakin berkembang. Berkembang dalam parameter kemajuan teknologi. Ratusan tahun ke depan kita tidak tahu apakah peradaban sekarang ini akan tercatat dengan baik atau tidak. Namun harus ada upaya ke arah sana yakni pendokumentasian yang terjadi di peradaban saat ini. Salah satu ikhtiyar (pilihan) yang ada untuk mendokumentasikan suatu hal yang terjadi adalah dengan menulis.

Menulis merupakan salah satu sarana berkomunikasi. Tidak semua orang pandai berkomunikasi lisan. Tidak semua orang sanggup berpidato hingga mendapat hadiah Nobel seperti Winston Churcill atau kita tidak sanggup berpidato layaknya seorang Recep Tayyip Erdogan, Perdana Menteri Turki yang dulu pernah djebloskan ke jeruji besi gegara membacakan puisi di depan umum karena menyinggung pemerintahan sekuler Turki. Tidak semua orang pandai menggerakkan lisannya untuk mempengaruhi atau mungkin dalam level yang lebih tinggi, menghegemoni orang banyak. Maka alternatif adalah menulis.

Tidak semua orang mahir menulis. Menulis dalam artian menggubah rangkaian kata menjadi paragraf lalu menghimpunnya dalam tulisan utuh untuk menyampaikan pesan tertentu. Tapi usaha kita ke arah sana harus tetap ada apalagi jika kita sadar kita tidak memiliki modalitas yang baik di komunikasi lisan.

Menurut YB Mangunwijaya, sebagaimana dikutip Eka Budianta, ada 5 jenis pengarang (penulis):
  1. Orang yang menulis karena iseng. Kalangan ini mengarang karena tidak tahu apa yang harus dilakukan
  2. Pujangga Kraton. Jenis ini mengarang (menulis) karena dipesan.
  3. Sastrawan proyek. Mereka menulis buku, artikel, atau naskah apa saja karena ada proyek, pesanan, perlombaan.
  4. Penulis profesional. Ini banyak kita kenal sebagai penyiar radio atau wartawan
  5. Pengarang nurani. Artinya, orang yang menulis karena panggilan nurani[2].

Pada tingkatan apapun kita sekarang, seperti yang diklasifikasikan di atas, semoga tidak mengendurkan semangat menulis kita. Katakanlah saat ini kita menulis dalam status “iseng” namun bukan berarti dalam beberapa episode ke depan kita sudah beberapa langkah lebih maju menjadi penulis profesional atau bahkan penulis nurani. Perubahan gradual itu tidak usah terburu-buru bukankah menaiki anak tangga sambil berlari membuat kita cepat pegal?.

Eka Budianta memberikan sebuah ilustrasi menarik dalam buku Senyum untuk Calon Penulis, berikut ini:

“Di sebuah negeri, ada seorang yang pandai menari. Bila ia menari, semua orang ikut bergembira. Ada yang menyanyi, memainkan musik, memukuli apa saja, dan ikut menari. Kalau ia menari di pasar, semua orang ikut menari. Jalanan jadi kacau, lalu lintas macet. Ia ditangkap dan di penjara,. Tetapi ketika ia menari di penjara, semua narapidana ikut menari. Penguasa marah dan ia memotong tangannya. Ia menari dengan kakinya. Dipotong kakinya, ia menari dengan badan dan kepalanya. Dipotong lehernya, ia masih menari dengan matanya. Semakin banyak lagi orang yang ikut menari. Penguasa jadi kesal dan bertanya, “bagaimana caranya menghentikan tarian Anda?” Penari sejati itu menjawab, “untuk menari saya tidak memerlukan musik. Untuk menari saya tidak memerlukan kaki dan tangan. Untuk menari saya hanya memerlukan jiwa yang merdeka.”

Bukankah Kartini muda menulis sekalipun dalam pingitannya? Bukankah Sayyid Qutb menulis Ma’alim fii Thariq di dalam penjara? Bukankah ketika tergugah membaca sajak Peringatan Wiji Thukul yang ujungnya berbunyi: “...maka hanya ada satu kata, lawan!” yang hingga kini keberadaan fisiknya masih dipertanyakan bangsa ini?

Kawan, dalam uraian singkat ini dan tulisan otokritik ini semoga kita menemukan kemerdekaan dalam semangat menulis kita. Rasanya memang tidak perlu sampai dipenjara atau dituduh subversif (membelot) baru kita memerdekakan semangat menulis kita. Cukuplah kita anggap pola hidup hedonisme, permisif, dan konsumtif di sekitar kita menjadi latar belakang “kemerdekaan” agar kita menuliskan ide-ide perubahan nan cemerlang untuk sebuah progresifitas tanpa henti apapun spesialisasi tulisan kita. Tulisan kita saat ini adalah prasasti modern untuk generasi yang akan datang. Umur biologis kita mungkin hanya hitungan puluhan tahun namun umur historis kita bisa terkenang sepanjang masa, terkenang dalam tulisan-tulisan abadi kita.

“Pengarang sejati itu seperti bunga yang mekar dan berbau harum. Seperti burung yang indah dan bersuara merdu. Mereka tetap mekar, berkembang, terbang, dan berkicau, meskipun berada di hutan yang sunyi. Mereka tidak menunggu penonton” – Eka Budianta
[1] Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah. (Yogyakarta: Bentang. 1995), hal.17
[2] Eka Budianta, Senyum untuk Calon Penulis.(Jakarta: Pustaka Alvabet. 2005), hal.22-23


Di bawah langit mendung Kota Hujan, 17 Februari 2013

Tulisan lebih banyak, bisa buka sangsendaljepit.blogspot,com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar